Beranda | Artikel
Benarkah Kita Penimba Ilmu?
Sabtu, 21 Juni 2014

4

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah, salawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah.

Amma ba’du.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, tidaklah kita ragukan bahwa menimba ilmu adalah amalan yang sangat utama, lebih utama daripada amal-amal sunnah, bahkan ia lebih utama daripada jihad di medan perang. Sampai-sampai populer ucapan sebagian ulama, “Barangsiapa yang menimba ilmu untuk menghidupkan ajaran Islam, maka dia termasuk dalam golongan shiddiqin dan derajatnya adalah setelah derajat kenabian.”

Imam Bukhari juga menegaskan di dalam Sahihnya, bahwa ilmu sebelum ucapan dan perbuatan. Imam Ahmad bin Hanbal juga menegaskan bahwa ilmu itu dibutuhkan sebanyak hembusan nafas. Para ulama kita juga menegaskan bahwa ilmu adalah sebab hidupnya hati seorang muslim. Dengan ilmu itulah seorang bisa membedakan antara iman dan kekafiran, antara tauhid dan syirik, antara sunnah dengan bid’ah.

Dan sebagaimana juga telah kita maklumi bersama bahwa sumber ilmu itu adalah firman Allah dan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam alias al-Qur’an dan as-Sunnah. Ilmu bukanlah pendapat si fulan atau ‘allan, ucapan si A atau si B. Ilmu adalah pengetahuan yang ditegakkan di atas dalil. Dengan demikian, semestinya para penimba ilmu memiliki perhatian yang besar kepada al-Qur’an dan as-Sunnah itu.

Bahkan, Allah juga memerintahkan kepada kita untuk selalu merujuk kepada Allah dan rasul guna menyelesaikan perselisihan dan persengketaan. Hal ini jelas memberikan arahan kepada kita untuk serius dan bersungguh-sungguh dalam memahami al-Qur’an dan as-Sunnah. Oleh sebab itu tidak heran jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah akan pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkan ilmunya.” (HR. Bukhari)

Mempelajari al-Qur’an tentu bukan sebatas hanya dalam hal cara membacanya. Akan tetapi mencakup intisari dan segala ilmu yang terkandung di dalamnya. Termasuk dalam hal ini adalah tafsirnya, yang ini bisa kita temukan dalam kitab-kitab tafsir dan juga hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; sebab beliau adalah sebaik-baik manusia yang menafsirkan al-Qur’an.

Termasuk di dalam hal ini pula adalah dengan mempelajari ilmu tauhid yang ini merupakan intisari dakwah seluruh rasul dan pokok materi Islam. Oleh sebab itu para ulama pun menyebut ilmu tauhid dan akidah ini sebagai fikih akbar. Lihat saja bagaimana Allah membuka kalam-Nya dengan surat al-Fatihah yang di dalamnya terkandung pokok-pokok akidah Islam. Lihatlah para ulama pakar hadits yang mengawali kitab hadits mereka dengan penyebutan hadits-hadits tentang iman dan akidah, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Untuk bisa memahami al-Qur’an dan Sunnah itu pun butuh usaha dan kesungguhan. Oleh sebab itu Yahya bin Abi Katsir mengatakan, “Ilmu tidak bisa diraih dengan banyak bersantai-santai.” Sebagian penyair mengatakan, “Katakanlah kepada orang-orang yang mendamba perkara-perkara tinggi; bahwa tanpa kesungguhan maka sebenarnya kamu sedang mengharap sesuatu yang mustahil adanya.”

Imam az-Zuhri mengatakan, “Barangsiapa yang mencari ilmu dengan sekaligus dalam jumlah banyak niscaya akan banyak pula ilmu yang lenyap darinya. Sesungguhnya ilmu itu dicari seiring dengan perjalanan siang dan malam.”

Lihatlah para ulama yang begitu sabar mengumpulkan ilmu dan mendalaminya. Belasan bahkan puluhan tahun mereka menggeluti ilmu dan kitab ulama tanpa mengenal menyerah. Sebagian mereka bahkan rela lapar dan hidup serba pas-pasan demi meraih ilmu dan keutamaan. Karena mereka sadar bahwa apa yang mereka cari jauh lebih berharga daripada dunia dan seisinya.

Para ulama rabbani yang ikhlas dalam mencari ilmu. Para ulama rabbani yang mengamalkan ilmunya. Para ulama rabbani yang menjadi teladan bagi masyarakatnya. Para ulama rabbani yang menjaga lisan dan tangannya dari menyakiti kaum muslimin. Para ulama rabbani yang menjadi purnama di tengah kegelapan hidup manusia. Para ulama rabbani yang ikhlas berdakwah dan membela agama ini dari segala bentuk penyimpangan. Para ulama rabbani yang rendah hati dan penuh dengan kasih sayang.

Kini, marilah kita mengoreksi diri. Layakkah kita mendaku sebagai penimba ilmu syar’i? Apakah selama ini kita disibukkan dengan ilmu, ataukah kita justru disibukkan dengan berita ini dan berita itu, gosip ini dan gosip itu, komen ini dan komen itu. Apakah selama ini kita disibukkan dengan firman Allah, sabda Nabi, atsar salaf; ataukah kita malah disibukkan dengan kata si fulan, mencela ini dan itu, dan mengumbar aib sesama?

Tidakkah kita ingat perkataan Hasan al-Bashri, “Seorang mukmin itu memadukan di dalam dirinya antara berbuat ihsan/kebaikan dan rasa takut -kepada Allah- sedangkan orang fajir/munafik memadukan di dalam dirinya antara berbuat jelek dan merasa aman-aman saja.”

Tidakkah kita ingat perkataan Ibnu Mas’ud, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti dia sedang duduk di bawah sebuah gunung; dia khawatir gunung itu akan runtuh menimpanya. Adapun orang fajir akan melihat dosa-dosanya hanya seperti seekor lalat yang hinggap di hidungnya lalu dia usir binatang itu cukup dengan cara seperti ini -yaitu dengan menggerakkan jarinya-.”

Sebagian salaf mengatakan, “Salah satu tanda Allah mulai berpaling dari seorang hamba adalah tatkala Allah jadikan dirinya tersibukkan dalam hal-hal yang tidak penting dan tidak pula bermanfaat bagi dirinya.”


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/benarkah-kita-penimba-ilmu/